Pada sebuah kamp rohani yang diadakan bagi masyarakat golongan ekonomi lemah di sebuah kawasan kumuh, saya terlibat sebagai salah satu pembimbing rohani untuk anak-anak kecil. Amy adalah salah satu dari ketujuh gadis yang masuk dalam kelompok saya, ia berusia 8 tahun, bertubuh kurus, berambut tipis dan berwajah kotor, tapi memiliki senyum yang mempesona dan mata bulat yang jernih.
Ketika semua gadis kecil itu sudah berada dalam tenda, yang pertama kami lakukan adalah duduk melingkar dan satu per satu menceritakan tentang dirinya. Ketika tiba giliran Amy, ia mengutarakan dengan suara perlahan bahwa ibunya telah meninggal karena dibunuh. Ia berkata bahwa ibunya terlibat penggunaan obat terlarang dan dibunuh oleh seorang pria teman ibunya sendiri. Itulah yang Amy ketahui. Saya bertanya, "apakah ia masih punya ayah?" Ia menjawab, "aku tidak tahu siapa ayahku." Kemudian ia terdiam.
"Oh...." tiba-tiba ia berkata, seolah baru teringat sesuatu. "Saya punya seorang ayah di sorga!"
"Oh..., apakah kamu punya ayah tetapi sudah meninggal?" tanya saya.
"Bukan...!" jawabnya sambil memandang sayadengan ekspresi kurang senang, "yang di sorga itu Allah!"
Ketika semua gadis kecil itu sudah berada dalam tenda, yang pertama kami lakukan adalah duduk melingkar dan satu per satu menceritakan tentang dirinya. Ketika tiba giliran Amy, ia mengutarakan dengan suara perlahan bahwa ibunya telah meninggal karena dibunuh. Ia berkata bahwa ibunya terlibat penggunaan obat terlarang dan dibunuh oleh seorang pria teman ibunya sendiri. Itulah yang Amy ketahui. Saya bertanya, "apakah ia masih punya ayah?" Ia menjawab, "aku tidak tahu siapa ayahku." Kemudian ia terdiam.
"Oh...." tiba-tiba ia berkata, seolah baru teringat sesuatu. "Saya punya seorang ayah di sorga!"
"Oh..., apakah kamu punya ayah tetapi sudah meninggal?" tanya saya.
"Bukan...!" jawabnya sambil memandang sayadengan ekspresi kurang senang, "yang di sorga itu Allah!"
No comments:
Post a Comment